KOMUNITAS
TUMBUHAN LUMUT (BRYOPHYTA) ARBOREAL
DAN TERESTRIAL DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
COMMUNITY OF ARBOREAL AND TERRESTRIAL MOSS PLANTS (BRYOPHYTES)
OF THE MOUNT HALIMUN SALAK
NATIONAL PARK
Ratna
Lestyana Dewi*
*Program Studi
Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstrak
Tumbuhan lumut (bryophyta)
merupakan kelompok tumbuhan kecil yang menempati berbagai habitat, menjajah
berbagai substrat terestrial, batang pohon, dan kanopi dengan kondisi
lingkungan lembab, dan penyinaran yang cukup. Tumbuhan lumut (bryophyta)
memberikan konstribusi untuk keanekaragaman hutan, baik dari segi struktur, dan
proses di dalam suatu ekosistem hutan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keanekaragaman tumbuhan lumut (bryophyta) dari komunitas arboreal
dan terestrial di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Secara
keseluruhan ditemukan 36 spesies tumbuhan lumut (bryophyta) yang terdiri
dari 20 spesies lumut daun (musci), 14 spesies lumut hati (hepaticeae),
dan 2 spesies lumut tanduk (anthocerotaceae). Komunitas terestrial memiliki kekayaan yang lebih rendah
dibandingkan dengan komunitas arboreal. Beberapa spesies tumbuhan lumut (bryophyta) dari komunitas arboreal yang
paling sering dijumpai dengan frekuensi terjadinya perjumpaan >20% yaitu Syrrhopodon tristrichus, Floribundaria
floribunda, Frullania sp.,
Achanthorrium papillatum, dan
Pyrrobryum spiniforme. Sementara untuk spesies tumbuhan lumut (bryophyta) dari komunitas terestrial
adalah Callicostella papillata,
Syrrhopoodon tristrichus, Hypnaceae sp.,
Schistochila lamellata, dan
Isothecium myosuroides.
Kata kunci: Arboreal; Bryophyta; Musci; Terestrial;
Abstract
Moss plants (bryophytes) are small plant groups
hat occupy a variety of habitats, colonize various terrestrial, tree trunks,
and canopies with humid environment conditions, and sufficient irradiation.
Plant moss (bryophytes) contribute to the diversity of forests, both in terms
of structure, and processes within a forests ecosystem. This study aims to
determine the diversity of moss plants (bryophytes) in the arboreal and
terrestrial communities of the Mount Halimun Salak National Park. A total of 36 moss plants (bryophytes) were found, including 20 species of
mosses (musci), 14 species of liveworts (hepaticeae), and 2
species of horn moss (anthocerotaceae). Terrestrial communities have less
wealth than the arboreal community. Some species of moss plants (bryophytes)
from the arboreal communities are most often encountered with the frequency of
encounters >20% is Syrrhopodon tristrichus, Floribundaria floribunda,
Frullania sp.,
Achanthorrium papillatum, dan
Pyrrobryum spiniforme. Meanwhile, for species of moss plants (bryophytes) in
terrestrial communities is Callicostella papillata, Syrrhopoodon tristrichus,
Hypnaceae sp., Schistochila
lamellata, dan Isothecium
myosuroides.
Keywords: Arboreal; Bryophytes; Musci; Terrestrial
PENDAHULUAN
Keanekaragaman hayati yang dimiliki suatu daerah
dinilai sangat penting untuk memberikan ciri khas tersendiri bagi suatu daerah,
seperti di negara Indonesia yang
merupakan salah satu negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati (megabiodiversity)
tertinggi di dunia. Salah satu keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh
Indonesia adalah tumbuhan lumut (bryophyta) (Nuroh et al. 2014).
Tumbuhan lumut (bryophyta)
merupakan kelompok tumbuhan kecil yang menempati berbagi habitat, menjajah
berbagai substrat terestrial, batang pohon, dan kanopi dengan kondisi
lingkungan lembab, dan penyinaran yang cukup. Tumbuhan lumut (bryophyta)
memberikan konstribusi untuk keanekaragaman hutan, baik dari segi struktur, dan
proses di dalam suatu ekosistem hutan (Aryanti, 2011). Di dalam kehidupannya,
faktor lingkungan sangat berpengaruh, seperti iklim mikro yang lebih
berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan lumut daripada faktor makro.
Pendekatan dan ketahanan hidupnya pada pohon akan dipengaruhi oleh karakter
perubahan kulit kayu dari ranting yang termuda hingga cabang yang tua. Demikian
juga dengan intensitas cahaya yang sampai pada permukaan pohon tersebut (Hasan,
2004).
Tumbuhan lumut (bryophyta)
ditemukan terutama di area sedikit cahaya dan lembab, sebagian besar tumbuh di
hutan hujan tropis. Loveless (1990) mengatakan lumut tumbuh subur pada
lingkungan yang lembab, khususnya di hutan-hutan tropis dan di tanah hutan
daerah iklim sedang yang lembab. Menurut Menih (2006) ada sekitar 3.000 spesies
lumut, diantaranya yaitu sekitar 1.500 tumbuh di Indonesia. Tumbuhan lumut (bryophyta)
lazim terdapat pada pohon, batu, kayu, dan di tanah. Pada setiap bagian di
dunia lumut hampir terdapat di setiap habitat kecuali di laut.
Secara ekologis
tumbuhan lumut (bryophyta) memiliki peranan penting bagi keseimbangan
ekosistem hutan, membantu mencegah erosi tanah. Tumbuhan lumut (bryophyta)
juga berfungsi sebagai indikator potensi perubahan iklim karena berasosiasi
erat dengan iklim habitat yang sensitif di suatu ekosistem. Selain itu,
tumbuhan lumut (bryophyta) memiliki kontribusi penting untuk siklus
nutrisi hutan, terutama untuk siklus Nitrogen (Aryanti, 2011).
Kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak merupakan kawasan hutan hujan pegunungan yang
terluas di Jawa Barat dengan keadaan iklim yang basah, serta kelembaban yang
tinggi. Lokasi ini merupakan salah satu kawasan yang potensial untuk habitat
dari keanekaragaman tumbuhan lumut (bryophyta) (Nuroh et al. 2007).
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman lumut
(bryophyta) di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
MATERIAL DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian
dilakukan selama 3 hari pada tanggal 8-11 Mei 2017.
Alat dan Bahan
Objek yang akan diamati dalam
penelitian ini adalah tumbuhan lumut (bryophyta)
yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Alat yang digunakan
dalam penelitian ini diantaranya adalah alat tulis, lup, amplop, buku panduan
identifikasi lumut, GPS, kamera, kertas label, kompas, lux meter, meteran, (100
m), peta, plastik zip, soil tester, tali rafia dan termometer. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode Simple
Random Sampling dengan teknik pengambilan sampel secara stratified sample dimana populasi yang
diambil terbagi ke dalam perbedaan strata. Penelitian ini dilakukan berdasarkan
panjang transek yang didasarkan pada waktu yang dilakukan pada pagi hari dengan
durasi waktu sekitar 6-7 jam.
Penelitian dilakukan pada tiga
lokasi dengan ketingian yang berbeda, plot dibuat 20 x 20 m. Kemudian pada
setiap plot, arboreal maupun terestrial dari keanekaragaman tumbuhan lumut (bryophyta) diperkirakan berdasarkan
kekayaan spesies dan kelimpahan (coverage
dan frekuensi %), biomassa total dari beberapa spesies yang paling dominan
disurvei, tegakan hutan dana karakteristik tanaman vaskular diinventarisasi. Metode penelitian ini mengacu pada Aryanti et al. (2011) dengan modifikasi.
Pengambilan Sampel Tumbuhan Lumut (bryophyta)
Arboreal
Pengambilan
sampel dilakukan dengan cara memilih lima pohon yang dipilih per petak dengan
ukuran plot 20 x 20 m. Kemudian dipilih lima pohon sebagai sampel yang mendukung
yaitu pada pohon yang memiliki diameter lebih dari 20 cm dari tinggi seukuran
dada orang dewasa. Kemudian setiap spesies yang ada dicatat dan dikumpulkan
untuk dilakukan identifikasi. Tutupan cover
(%) dan frekuensi (%) dari spesies di dalam kuadrat 20 x 30 cm2 juga
dicatat.
Pengambilan Sampel Tumbuhan Lumut (bryophyta)
Terestrial
Pengambilan
sampel dilakukan dengan membuat plot 20 x 20 m, dua paralel 20 m transek
didirikan dengan jarak 10 m. Kemudian sampel disurvei dalam 1 x 1 m subplot
yang ditempatkan di lima titik yang berbeda pada transek. Setiap spesies yang
ada kemudian dicatat dan dikumpulkan untuk diidentifikasi, dengan tutupan cover (%) dan frekuensi (%) dari
masing-masing spesies yang terdapat di dalam subplot berdasarkan kuadrat 20 x
30 cm.
Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan di
lapangan antara lain yaitu:
1. Data tumbuhan lumut (bryophyta) meliputi: jenis, jumlah
individu tiap jenis, dan lain-lain.
2. Data habitat meliputi: tanggal
dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat atau lingkungan tempat
ditemukan.
3. Data coverage dan persentase frekuensi perjumpaan spesies tumbuhan lumut
(bryophyta) arboreal dan terestrial.
Analisis Data
Identifikasi spesies dilakukan
dengan menggunakan buku panduan identifikasi Tjitrosoepomo (2009), Eddy (2006),
dan Zhu (1995), dan pengamatan menggunakan lup, maupun mikroskop stereo.
Kemudian, dilakukan analisis dari hasil pengamatan yang diperoleh yaitu nilai coverage dan frekuensi perjumpaan
tumbuhan lumut (bryophyta) yang
terdapat pada masing-masing plot dan komunitas arboreal serta komunitas
terestrial.
HASIL
Keanekaragaman Jenis
Secara
keseluruhan maka ditemukan 36 spesies tumbuhan lumut (bryophyta) yang telah diidentifikasi di komunitas arboreal maupun
terestrial di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Adapun dari 36
spesies tumbuhan lumut (bryophyta)
yang ditemukan terdiri dari 20 spesies lumut daun (musci) 14 spesies dari lumut hati (hepaticeae) dan 2 spesies dari jenis lumut tanduk (anthocerotaceae).
Tabel 1. Keanekagaraman Spesies
Tumbuhan Lumut (bryophyta) Arboreal dan Terestrial di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Spesies
|
Habitat
|
|
Plot I
|
Plot II
|
Plot III
|
Musci
|
|||||
Acanthorrhynchium papillatum
|
a,t
|
|
-
|
+
|
+
|
Acroporium lamprophyllum
|
a,t
|
|
+
|
+
|
+
|
Aulacomnium androgynum
|
a,t
|
|
+
|
+
|
+
|
Callicostella papillata
|
t
|
|
-
|
+
|
+
|
Dicranum tauricum
|
t
|
|
+
|
-
|
+
|
Dicranoloma sp.
|
a,t
|
|
+
|
-
|
+
|
Fissidens fontanus
|
t
|
|
+
|
+
|
-
|
Floribundaria floribunda
|
a,t
|
|
-
|
-
|
+
|
Homaliodendron flabellatum
|
a,t
|
|
-
|
+
|
-
|
Hypnaceae sp.
|
t
|
|
+
|
+
|
+
|
Isothecium myosuroides
|
a,t
|
|
-
|
+
|
+
|
Isopterygium albescens
|
a,t
|
|
+
|
+
|
+
|
Leucobryum candidum
|
t
|
|
+
|
-
|
+
|
Leucophanes sp.
|
t
|
|
+
|
-
|
+
|
Lopidum struthiopteris
|
a
|
|
-
|
+
|
-
|
Neckera sp.
|
a
|
|
-
|
+
|
-
|
Pterobyopsis sp.
|
a
|
|
-
|
+
|
+
|
Pterobryum sp.
|
a
|
|
+
|
-
|
-
|
Pyrrobryum spiniforme
|
a,t
|
|
+
|
-
|
+
|
Syrrhopodon tristichus
|
a,t
|
|
+
|
+
|
+
|
Hepaticeae
|
|||||
Acromastigum sp.
|
a
|
|
-
|
+
|
-
|
Archilejeunea planiuscula
|
a
|
|
-
|
+
|
-
|
Bazzania sp.
|
a
|
|
-
|
+
|
-
|
Frullania sp.
|
a
|
|
-
|
+
|
+
|
Harpalejeunea sp.
|
a,t
|
|
-
|
+
|
+
|
Lejeunea exilis
|
t
|
|
+
|
-
|
+
|
Lepidozia cupressina
|
a,t
|
|
-
|
+
|
+
|
Marchantia polymorpha
|
t
|
|
-
|
+
|
-
|
Mastigolejeunea auriculata
|
a,t
|
|
+
|
-
|
-
|
Plagiochila frondescens
|
a
|
|
-
|
+
|
-
|
Metzgeria sp.
|
t
|
|
-
|
+
|
-
|
Radula javanica
|
a
|
|
-
|
+
|
+
|
Riccardia sp.
|
t
|
|
+
|
+
|
+
|
Schistochila lamellata
|
a,t
|
|
-
|
+
|
-
|
Anthocerotaceae
|
|||||
Antherocoptopsida sp.
|
t
|
|
+
|
-
|
-
|
Anthoceros laevis
|
a
|
|
-
|
-
|
+
|
Keterangan : a = arboreal; b = terestrial; + = ditemukan;
- = tidak ditemukan
Kekayaan dan Kelimpahan
Secara keseluruhan pada spesies yang ditemukan di
masing-masing plot berdasarkan pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa pada plot
II terdapat jumlah komunitas tumbuhan lumut (bryophyta) arboreal tertinggi yaitu sebanyak 20 spesies. Namun,
pada plot ini tidak ditemukan adanya jenis dari anthoceroceae. Sedangkan untuk komunitas tumbuhan lumut (bryophyta) terestrial tertinggi pada plot
III yaitu sebesar 18 spesies. Sementara itu, pada plot I baik dari komunitas
arboreal maupun terestrial lebih sering ditemukannya jenis lumut daun (musci) jika dibandingkan dengan jenis lumut hati (hepaticeae).
|
|
|
Gambar 1. Jumlah Spesies Tumbuhan Lumut (bryophyta)
yang ditemukan setiap plot
Tumbuhan lumut (bryophyta) jika dilihat pada nilai coverage (%) yang terdapat pada masing-masing plot ini memiliki
kisaran nilai yang berbeda-beda pada setiap plotnya. Hal ini dapat dilihat
seperti halnya pada plot II terestrial pada spesies Marchantia polymorpha dengan nilai sebesar 60%. Jika pada suatu
spesies memiliki nilai coverage
>50% dapat diartikan bahwa spesies tersebut saat ditemukan memang
mendominasi pada suatu titik atau plot tertentu. Kemudian, jika dilihat secara
keseluruhan berdasarkan pada tabel tersebut bahwa nilai pada komunitas
terestrial lebih besar dibandingkan dengan komunitas arboreal.
Tabel 2. Lima Spesies Tumbuhan
Lumut (bryophyta) dengan Nilai Coverage
(%) Tertinggi pada
Komunitas Arboreal dan
Terestrial
Arboreal
|
Terestrial
|
||
Plot/Spesies
|
Coverage (%)
|
Plot/Spesies
|
Coverage (%)
|
Plot I
|
Plot I
|
||
Aulacomnium androgynum
|
14
|
Arcoporium
lamprophyllum
|
22
|
Pyrrobryum spiniforme
|
14
|
Pyrrobryum
spiniforme
|
15
|
Syrrhopodon tristichus
|
13
|
Isopterygium
albescens
|
13
|
Arcoporium lamprophyllum
|
12
|
Mastigolejeunea
auriculata
|
12
|
Pterobryum sp.
|
12
|
Fissidens fontanus
|
12
|
Plot II
|
Plot II
|
||
Callicostella papillata
|
35
|
Marchantia
polymorpha
|
60
|
Neckera sp.
|
35
|
Callicostella
papillata
|
25
|
Syrrhopodon tristichus
|
58
|
Lepidozia
cupressina
|
25
|
Acromastigum sp.
|
24
|
Fissidens fontanus
|
18
|
Frullania sp.
|
23
|
Homaliodendron
flabellatum
|
18
|
Plot III
|
Plot III
|
||
Floribundaria floribunda
|
45
|
Callicostella
papillata
|
65
|
Syrrhopodon tristichus
|
45
|
Isopterygium
albescens
|
25
|
Dicranoloma sp.
|
22
|
Isothecium
myosuroides
|
20
|
Frullania sp.
|
21
|
Leujenea exilis
|
18
|
Aulacomnium androgynum
|
20
|
Pyrrobryum
spiniforme
|
15
|
Tumbuhan lumut (bryophyta) jika dilihat pada frekuensi perjumpaan (%) yang terdapat
pada masing-masing plot ini memiliki kisaran nilai yang berbeda-beda pada
setiap plotnya. Hal ini terjadi karena keseluruhan dari tumbuhan lumut (bryophyta) ini habitat hidupnya menyebar
hampir di setiap sudut, titik atau plot yang memang melimpah di Kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak. Beberapa spesies tumbuhan lumut (bryophyta) dari komunitas arboreal yang
paling sering dijumpai dengan frekuensi terjadinya perjumpaan >20% pada
penelitian ini adalah Syrrhopodon
tristrichus, Floribundaria floribunda, Frullania sp., Achanthorrium papillatum, dan
Pyrrobryum spiniforme. Sementara untuk spesies tumbuhan lumut (bryophyta) dari komunitas terestrial
adalah Callicostella papillata,
Syrrhopoodon tristrichus, Hypnaceae sp.,
Schistochila lamellata, dan
Isothecium myosuroides.
Tabel 3. Spesies Tumbuhan
Lumut (bryophyta) dengan frekuensi perjumpaan
>20% pada Komunitas Arboreal dan Terestrial
Arboreal
|
Terestrial
|
||
Plot/Spesies
|
Frekuensi (%)
|
Plot/Spesies
|
Frekuensi (%)
|
Plot I
|
Plot I
|
||
Pyrrobryum spiniforme
|
26
|
Pyrrobryum
spiniforme
|
30
|
Arcoporium lamprophyllum
|
25
|
|
|
Isopterygium albescens
|
25
|
|
|
Syrrhopodon tristichus
|
25
|
|
|
Dicranoloma sp.
|
22
|
|
|
Plot II
|
Plot II
|
||
Acanthorrhynchium papillatum
|
28
|
Callicostella
papillata
|
60
|
Isothecium myosuroides
|
25
|
Syrrhopodon
tristichus
|
50
|
Acroporium lamprophyllum
|
24
|
Isopterygium
albescens
|
31
|
Acromastigum sp.
|
24
|
Schistochila
lamellata
|
27
|
Callicostella papillata
|
24
|
Isothecium
myosuroides
|
25
|
Radula javanica
|
24
|
|
|
Schistochila lamellata
|
24
|
|
|
Plot III
|
Plot III
|
||
Syrrhopodon tristichus
|
68
|
Syrrhopodon
tristichus
|
50
|
Floribundaria floribunda
|
33
|
Callicostella
papillata
|
34
|
Frullania sp.
|
33
|
Hypnaceae sp.
|
34
|
Acroporium lamprophyllum
|
20
|
Riccardia sp.
|
23
|
Dicranoloma sp.
|
20
|
|
|
Herpalejeunea sp.
|
20
|
|
|
Radula javanica
|
20
|
|
|
PEMBAHASAN
Tumbuhan
lumut (bryophyta) yang hidup pada komunitas arboreal maupun
terestrial di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dapat dinilai cukup
tinggi, hal ini dinilai karena berdasarkan pada jumlah spesies yang telah
ditemukan tidak kurang dari 30 spesies yang ditemukan di seluruh komunitas
arboreal dan komunitas terestrial. Meskipun keanekaragaman tumbuhan lumut (bryophyta) jika dibandingkan dengan sub
pegunungan dari Taman Nasioal Lore Lindu, Sulawesi Tengah ditemukan lebih dari
50 spesies di dalam dua belas plot (Aryanti et
al. 2011). Angka yang lebih sedikit ini mungkin disebabkan karena
penelitian yang dilakukan di Sulawesi tengah dilakukan di tiga tipe hutan
(hutan primer alam, hutan sekunder, dan kakao agroforest), sedangkan penelitian
ini dilakukan di hutan homogen, curug, dan hutan heterogen.
Hasil
spesies tumbuhan lumut (bryophyta)
pada komunitas arboreal yang telah ditemukan pada penelitian ini yaitu sebanyak
25 spesies yang dikumpulkan dari sampel pohon, yang jika dilihat lebih banyak
ditemukan pada lokasi curug (900 m), kemudian lokasi hutan heterogen (1100 m),
dan hutan homogen (800 m). Sementara itu untuk tumbuhan lumut (bryophyta) pada komunitas terestrial
yang telah ditemukan pada penelitian ini yaitu sebanyak 24 spesies yang hidup
pada substrat tanah atau bebatuan yang ada di Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Keanekaragaman spesies tumbuhan lumut (bryophyta) dari komunitas arboreal jika dilihat memang akan
terlihat lebih unggul jumlahnya ketika seluruh pohon telah diinventarisasi.
Berdasarkan
pada literatur, ketika kekayaan spesies tumbuhan lumut (bryophyta) dari komunitas arboreal dan terestrial dibandingkan,
maka kekayaan dari komunitas terestrial akan menjadi lebih rendah dibandingkan
dengan komunitas arboreal yang hampir dijumpai di semua plot. Hal ini
disebabkan karena lokasi Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang
merupakan kawasan hutan hujan tropis yang ditandai dengan keragaman yang tinggi
dari adanya pohon besar sehingga dapat dikatakan lokasi ini menyediakan
berbagai habitat untuk tumbuhan lumut (bryophyta)
epifit atau dengan kata lain hidup pada komunitas arboreal (Yamaguchi, 2005).
Di sisi
lain, terdapat pula habitat tumbuhan bawah ditutupi oleh kanopi yang ditentukan
oleh intensitas cahaya yang menembus masuk ke tanah untuk tumbuhan lumut (bryophyta) melakukan fotosintesis. Selain
itu, rendahnya tingkat dekomposisi serasah yang ada pada hutan heterogen
sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan substrat untuk komunitas terestrial
tumbuhan lumut (bryophyta) (Ruqayah,
2004).
Menurut
Gradstein (2011) mengatakan bahwa substrat terestrial di Kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak ini memang terbatas, karena kondisi tanah di kawasan
tersebut sebagian besar tertutup oleh ranting dan daun tua, tumbuh-tumbuhan
bawah lainnya. Sehingga spesies tumbuhan lumut (bryophyta) dari komunitas terestrial ini pun jika ditemukan hanya
tumbuh di sekitar ranting yang telah lapuk, humus, atau bebatuan di daerah yang
memiliki sedikit intensitas cahaya di bawah hutan tersebut.
Tumbuhan
lumut (bryophyta) dari komunitas
arboreal memang memiliki kekayaan yang lebih besar dari komunitas terestrial
sebelumnya juga telah dibahas oleh banyak penulis. Sulaeman (2006) juga
menyebutkan bahwa tumbuhan lumut (bryophyta)
mungkin tidak ada di tanah dengan area yang terganggu atau di hutan hujan
dataran rendah dan hanya secara umum di hutan pegunungan.
Tumbuhan
lumut (bryophyta) jika dilihat pada
nilai coverage (%) yang terdapat pada
masing-masing plot ini memiliki kisaran nilai yang berbeda-beda pada setiap
plotnya. Jika pada suatu spesies memiliki nilai coverage >50% dapat diartikan bahwa spesies tersebut saat
ditemukan memang mendominasi pada suatu titik atau plot tertentu (Putrika,
2012). Kemudian, jika dilihat secara keseluruhan menunjukkan bahwa komunitas
terestrial memiliki nilai coverage (%)
lebih besar dibandingkan dengan komunitas arboreal. Hal ini disebabkan karena
pada saat dilakukan penelitian, pada komunitas arboreal di suatu pohon jika
diamati dihuni lebih dari dua spesies yang hidup berdampingan di substrat yang
sama.
Tumbuhan
lumut (bryophyta) dapat mewakili
komponen penting dari suatu komunitas hutan terutama dari komunitas makhluk
hidup epifit, yaitu berkontribusi besar pada tingginya suatu jumlah spesies
dalam keanekaragaman hutan (Elena, 2011). Berdasarkan hasil penelitian terlihat
bahwa kekayaan spesies tumbuhan lumut (bryophyta)
dapat melebihi dari tanaman pohon .
Beberapa
spesies tumbuhan lumut (bryophyta)
dari komunitas arboreal yang paling sering dijumpai dengan frekuensi terjadinya
perjumpaan >20% pada penelitian ini adalah Syrrhopodon tristrichus, Floribundaria floribunda, Frullania sp., Achanthorrium papillatum, dan Pyrrobryum spiniforme. Sementara untuk
spesies tumbuhan lumut (bryophyta)
dari komunitas terestrial adalah Callicostella
papillata, Syrrhopoodon tristrichus, Hypnaceae sp., Schistochila lamellata, dan
Isothecium myosuroides. Jika dilihat berdasarkan literatur bahwa hasil ini
relevan dengan tumbuhan lumut (bryophyta)
yang ditemukan di habitat oligophotic
seperti hutan yang terdiri dari banyak jenis pohon (Damayanti, 2006).
KESIMPULAN
Tumbuhan
lumut (bryophyta) di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak ditemukan sebanyak 36 spesies yang terdiri dari 20 sepsies dari jenis
lumut daun (musci), 12 spesies dari
jenis lumut hati (hepaticeae), dan 4
spesies dari jenis lumut tanduk (anthocerotaceae). Komunitas terestrial
memiliki kekayaan yang lebih rendah dibandingkan dengan komunitas arboreal.
Beberapa spesies tumbuhan lumut (bryophyta)
dari komunitas arboreal yang paling sering dijumpai dengan frekuensi terjadinya
perjumpaan >20% yaitu Syrrhopodon
tristrichus, Floribundaria floribunda, Frullania sp., Achanthorrium papillatum, dan
Pyrrobryum spiniforme. Sementara untuk spesies tumbuhan lumut (bryophyta) dari komunitas terestrial
adalah Callicostella papillata,
Syrrhopoodon tristrichus, Hypnaceae sp.,
Schistochila lamellata, dan
Isothecium myosuroides.
REFERENSI
Aryanti, S., Nunik, Sulistijorini. (2011). Contrasting arboreal and terrestrial
bryophytes Communities of the mount halimun salak national park, west
java. Jurnal Biotropia, 18(2), 81-93.
Damayanti, L. (2006). Koleksi
Bryophyta Taman Lumut Kebun Raya Cibodas. Cibodas: LIPI UPT Balai Konservasi Tumbuhan
Eddy, A. (1996). A
Handbook of Malesian Moss Volume 3. Malaysia: HMSO Publication Centre
Elena. (2011). Jenis-jenis lumut polytrichales di kawasan
cagar alam lembah anai kabupaten tanah datar Sumatra Barat. Jurnal Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, 13(5), 13-17
Gradstein, S. R. (2011). Guide to the liveworths and
hornworts of Java, Bogor. Jurnal
Biotropia, 12(3), 114-119.
Hasan, M., Ariyanti, S., Nunik. (2004). Mengenal bryophyta (lumut) Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango Volume I.
Cibodas: Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Loveless. (1990). Prinsip-prinsip
Biologi Untuk Daerah Tropik 2. Jakarta: Gramedia
Menih. (2006). Pembangunan
Tanaman Lumut dan Kebun Raya. Jakarta: Gramedia
Nuroh, B., Istomo, Hilwan.
(2014). Keanekaragaman dan peran ekologi bryophyta di Hutan Sesaot Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Jurnal Silvikultur
Tropika, 5(3), 13-17.
Putrika, A. (2012). Komunitas Lumut Epifit di Kampus Universitas
Indonesia Depok. Depok: Universitas Indonesia
Rugayah, A., Widyawati. (2004).
Pengumpulan data taksonomi, pedoman
pengumpulan data keanekaragaman flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi
Sulaeman, M., Agustini. (2006).
A revised catalogue of mosses reported from Borneo. Jurnal of Hattori Botanical Laboratory. 99(2), 53-149.
Tjitrosoepomo, G. (2009). Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta, Tallophyta,
Bryophyta, dan Pteridophyta). Yogyakarta: UGM Press
Windadri, F., Yusilawati. (2009).
Keanekaragaman jenis lumut (musci) di Lereng Gunung Wani, Suaka Margasatwa
Buton Utara, Sulawesi Utara. Jurnal Biota,
12(2), 159-166
Yamaguchi, T. (2005). Effect of
forest on bryophyte flora in East Kalimantan, Indonesia. Jurnal Phyton Annales Rei Botanica, 45(4), 561-567.
Zhu, R. (1995). Moss and liveworth of Hongkong Volume 2.
Hongkong: Biology Department Hongkong Baptist University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar