Nama : Ratna Lestyana Dewi
NIM : 11140950000007
Tanggal : 23 Maret 2016
THERMOREGULASI
Dasar Teori
Thermoregulasi adalah proses dari pengaturan suhu tubuh. Panas tubuh merupakan hasil akhir dari proses oksidasi di dalam tubuh. Pengaturan suhu tubuh (thermoregulasi), pengaturan cairan tubuh, dan ekskresi merupakan elemen dari homeostasis. Apabila suhu tubuh naik, maka proses oksidasi akan naik mencapai keadaan maksimum pada suhu optimal. Kondisi homeostatis temperatur tubuh bisa tercapai karena adanya keseimbangan antara panas yang dihasilkan serta diterima oleh tubuh (produksi panas) dan panas yang hilang dari tubuh masuk ke lingkungan luar (disipasi panas). Saat produksi panas, tubuh memperoleh panas sebagai akibat dari aktivitas metabolisme jaringan tubuh dan dari lingkungan luar bila lingkungan luar itu lebih tinggi temperaturnya (lebih panas) daripada temperatur tubuh (Soewolo, 2000).
Bentuk penyesuaian fisiologinya yaitu apabila panas yang dihasilkan oleh tubuh akan meningkat dengan menurunnya temperatur luar. Sebaliknya, temperatur sekitar yang tinggi akan menurunkan jumlah panas yang panas yang dihasilkan oleh tubuh. Hal itu dapat dikaitkan melambatnya aktivitas metabolisme. Secara umum, mekanisme yang berlangsung untuk menghasilkan panas meliputi peningkatan aktivitas metabolisme jaringan, peningkatan aktivitas otot, dan produksi panas (thermogenesis) tanpa aktivitas menggigil (Soewolo, 2000).
Panas dari dalam tubuh dapat ditransfer ke lingkungan luar. Demikian juga sebaliknya, panas dari lingkungan luar dapat ditransfer ke dalam tubuh. Kecepatan transfer panas ke dalam atau ke lingkungan luar tergantung pada 3 faktor yaitu luas permukaan, terjadinya perbedaan suhu, serta kondisi panas. Jika luas permukaan per gram jaringan berbanding terbalik dengan peningkatan massa tubuh. Sementara pada perbedaan suhu, semakin dekat seekor hewan memelihara suhu tubuhnya ke lingkungan, maka semakin sedikit panas yang mengalir ke dalam atau ke lingkungan luar. Konduksi panas spesifik permukaan tubuh hewan. Permukaan jaringan poikiloterm memiliki konduktansi panas yang tinggi sehingga hewan ini memiliki suhu tubuh mendekati suhu lingkungannya (Soedjono, 1998).
Berdasarkan pada kemampuannya mengatur suhu tubuh berkaitan dengan produksi panas, hewan dibedakan menjadi 2 golongan yaitu hewan poikiloterm dan hewan homoiterm. Suhu tubuh binatang poikiloterm berubah-ubah tergantung pada suhu sekelilingnya, sehingga peoses-proses vital di dalam tubuhnya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan suhu lingkungan (Soewolo, 2000). Adapun yang termasuk hewan poikiloterm yaitu pisces, amphibi, dan reptil. Suhu tubuh dari golongan binatang-binatang ini sedikit diatas suhu lingkungannya. Sedangkan, hewan homoioterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya konstan, karena binatang ini mempunyai sentrum pengatur suhu tubuh yang baik. Contohnya yaitu aves dan mamalia.
Termoregulasi manusia berpusat pada hypothalamus anterior terdapat tiga komponen pengatur atau penyusun sistem pengaturan panas, yaitu termoreseptor, hypothalamus, dan saraf eferen serta termoregulasi dapat menjaga suhu tubuhnya, pada suhu-suhu tertentu yang konstan biasanya lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya (Syamsiar, 1998).
Mekanisme pengaturan suhu tubuh merupakan penggabungan fungsi dari organ-organ tubuh yang saling berhubungan. didalam pengaturan suhu tubuh mamalia terdapat dua jenis sensor pengatur suhu, yautu sensor panas dan sensor dingin yang berbeda tempat pada jaringan sekeliling (penerima di luar) dan jaringan inti (penerima di dalam) dari tubuh.Dari kedua jenis sensor ini, isyarat yang diterima langsung dikirimkan ke sistem saraf pusat dan kemudian dikirim ke syaraf motorik yang mengatur pengeluaran panas dan produksi panas untuk dilanjutkan ke jantung, paru-paru dan seluruh tubuh. Setelah itu terjadi umpan balik, dimana isyarat, diterima kembali oleh sensor panas dan sensor dingin melalui peredaran darah (Soedjono, 1998).
Prinsip Kerja
Pengaturan suhu tubuh diatur oleh hipotalamus region anterior dan posterior yang masing-masing berespon pada suhu tubuh meningkat dan berkurang. Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme umpan balik, dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang teletak pada hipotalamus. Agar mekanisme umpan balik ini dapat berlangsung, harus juga tersedia pendetektor suhu untuk menentukan kapan suhu tubuh menjadi sangat panas atau sangat dingin.
Cara Kerja
Cara Kerja Hasil Pengamatan
1. Pemeriksaan Suhu Tubuh
a. Posisi Terbaring
Orang probandus dibaringkan dengan posisi horizontal
Termometer dibersihkan dengan alkohol
Termometer diletakkan di bawah lidah dan mulut ditutup
Setelah lima menit lalu dicatat suhunya dan dilakukan dua kali pengulangan
Dilakukan pula pengukuran pada fossa axiliaris (ketiak)
b. Posisi Terbaring Sambil Membuka Mulut
Orang probandus bernapas selama 2 menit dengan mulut terbuka
Termometer diletakkan di lidah kemudian mulut ditutup
Suhu dicatat setelah 10 menit
c. Setelah Berkumur Dengan Es
Orang probandus berkumur dengan es selama 1 menit
Termometer diletakkan di lidah dengan mulut ditutup
Setelah lima menit lalu dicatat suhunya dan dilakukan dua kali pengulangan
Pengukuran juga dilakukan pada probandus lainnya.
2. Tata Panas
Dua buah beaker glass diisi dengan air panas 70oC sama banyaknya
Minyak dituangkan pada salah satu beaker glass hingga menutupi permukaan air
Termometer dipasang pada masing-masing beaker glass
Suhu kemudian dicatat
3. Pegaruh Suhu Tubuh Terhadap Denyut Jantung Hewan (Bufo sp.)
Seekor katak direntangkan dan diikat pada papan kayu
Termometer dimasukkan pada esophagusnya selama 5 menit
Katak dimasukkan ke dalam air es (suhu 20oC) selama 5 menit
Termometer tetap dipasang dan dibaca suhu tubuh katak
Bagian dada katak diraba hingga teraba denyut jantungnya
Denyut jantung kemudian dihitung selama 1 menit dengan 3 kali pengulangan
Setelah selesai kemudian kaki katak diangkat dari baki
Katak dimasukkan ke dalam air panas (suhu 40oC) selama 5 menit dan dibaca suhu tubuhnya
Lalu dihitung denyut jantung katak selama 1 menit dan dicatat hasilnya
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan
pada percobaan mengenai pemeriksaan suhu tubuh, maka didapat hasil yang
disajikan pada tabel berikut:
Tabel 1.1
Pemeriksaan Suhu Tubuh Manusia
Orang Probandus
|
Pengukuran di Mulut
|
Pengukuran di
Fossa axilaris
|
||
Posisi Terbaring
|
Posisi Terbaring Sambil Membuka Mulut
|
Setelah Berkumur dengan Es
|
||
1
|
37°C
|
36,9°C
|
34,7°C
|
35,4°C
|
2
|
36,7°C
|
36,6°C
|
32,9°C
|
35,9°C
|
3
|
36,8°C
|
36,4°C
|
35,9°C
|
35,8°C
|
4
|
36,9°C
|
36,8°C
|
36°C
|
36,1°C
|
Berdasarkan pada tabel 1.1 dapat diketahui bahwa pada percobaan tersebut dilakuan pemeriksaan suhu
tubuh manusia yang diukur di bawah permukaan lidah (cavitas oris) dengan tiga
perlakuan yaitu dengan posisi terbaring, posisi terbaring sambil membuka mulut,
dan setelah berkumur dengan es. Kemudian dilakukan pula pengukuran suhu tubuh
manusia pada Fossa axiliaris. Adapun suhu pada saat posisi terbaring
secara keseluruhan menunjukkan suhu yang normal yang berdasarkan pada tabel
menunjukkan hasil kisaran suhu 36,70C-370C. Adapun suhu
normal yang dimiliki oleh manusia yaitu kisaran pada suhu 36,60C –
370C.
Berdasarkan pada tabel 1.1 dilakukan percobaan
pemeriksaan suhu tubuh melalui pernapasan lewat mulut.
Berdasarkan pada tabel 1.1 maka diperoleh hasil kisaran suhu tubuh 36,40C
- 36,90C yang menandakan bahwa terjadi penurunan suhu yang sangat
kecil dan tidak terlalu signifikan. Seharusnya, pada saat orang probandus melakukan
pernapasan lewat mulut suhunya akan naik namun tetap dalam batasan normal. Hal
ini disebabkan karena pernapasan merupakan proses metabolisme, yaitu proses
katabolisme yang menghasilkan energi.
Lalu, dari energi yang dihasilkan akan menghasilkan pula panas. Semakin cepat dan lama melakukan proses respirasi
semakin besar pula energi panas yang dihasilkan.
Jadi, dengan melakukan pernafasan melalui mulut diperoleh energi atau panas yang lebih banyak, sehingga suhu tubuhpun ikut
naik (Syamsyiar, 1998).
Kemudian, pada percobaan berikutnya ketika orang probandus berkumur
dengan es selama 2 menit yang kemudian diukur suhunya, berdasarkan pada tabel
1.1 kisaran suhu pada orang probandus yaitu 32,90C – 360C.
Adapun bila dibandingkan suhu yang terukur
antara tanpa perlakuan dengan perlakuan memiliki rentan nilai yang tidak
terlalu besar. Hal ini sesuai dengan teori bahwa manusia selalu mempertahankan
suhu tubuhnya selalu tetap walaupun dengan suhu lingkungan berbeda. Manusia
merupakan organisme homeoterm yang mana suhu tubuhnya selalu tetap. Mekanisme
termoregulasi pada manusia tidak jauh berbeda karena tergolong sebagai
organisme homeoterm sekaligus. Saat kondisi lingkungan dingin, tubuh
meningkatkan produksi panas metabolik dalam otot rangka, antara lain dengan
cara menggigil. Sedangkan mekanisme produksi panas bukan dari menggigil antara
lain meningkatkan sekresi hormon tiroksin yang dapat meningkatkan aktivitas
metabolism didalam sel, menyerap radiasi panas matahari, menegakkan rambut
sehingga pelepasan panas secara konveksi dapat diperkecil, mengurangi aliran
darah ke organ perifer dengan vasokonstriksi (menyempitkan pembuluh darah) dan
memberikan tanggapan perilaku (Syamsiar, 1998).
Adapun pada percobaan selanjutnya yaitu dilakukan
pengukuran suhu tubuh manusia pada Fossa
axiliaris. Berdasarkan pada tabel 1.1 kisaran suhu pada keempat orang
probandus yaitu 35,40C-36,10C. Hal ini menandakan bahwa
suhu lebih kecil dibandingkan dengan pengukuran melalui cavitas oris. Menurut teori, suhu
tubuh yang diukur melalui cavitas oris lebih tinggi daripada yang diukur
melalui fossa axilaris karena thermometer yang digunakan untuk mengukur suhu
tubuh melalui cavitas oris langsung meyentuh dan mengenai pembuluh darah yang
berada di bawah lidah. Sehingga pengukurannya lebih cepat daripada pengukuran suhu tubuh melalui
fossa axilaris (Isnaeni, 2006).
Gambar 1.1 Grafik Uji Tata Panas I Gambar 1.2 Grafik Uji Tata Panas II
Berdasarkan pada gambar 1.1 dan 1.2 mengenai
grafik pada percobaan yang telah dilakukan yaitu uji tata panas untuk
mengetahui perubahan suhu yang terjadi pada saat air panas (T0 = 700C)
tanpa lapisan minyak dan air dengan lapisan minyak. Percobaan ini dilakukan
dengan dua kali pengulangan, pada beaker glass yang pertama diberi air tanpa
lapisan minyak dan pada beaker glass kedua diberi air dengan lapisan minyak.
Setelah dilakukan pengamatan dengan mengukur suhu pada beaker dengan rentang
waktu masing – masing 15 menit dapat terlihat pada grafik tersebut memiliki
perbedaan hasil yang tidak terlalu signifikan. Adapun pada kedua beaker glass
mengalami perubahan suhu, namun pada beaker glass yang tidak diberi lapisan
minyak mengalami penurunan suhu yang lebih cepat dibandingkan dengan beaker
glass yang berisi air dengan lapisan minyak. Hal ini disebabkan pada penambahan
minyak ini berfungsi untuk menahan suhu panas awal yang dimiliki oleh air, dan
berdasarkan teori bahwa massa jenis minyak lebih berat dibandingkan dengan
massa jenis air. Sehingga adanya penambahan minyak dapat membantu memeperlambat
penurunan suhu pada beaker glass tersebut (Soedjono, 1998).
Tabel 1.3 Pengaruh Suhu Tubuh Terhadap Denyut Jantung dan
Suhu Tubuh Hewan (Bufo sp.)
Bufo I
|
Bufo II
|
|||
Suhu Tubuh
|
Jumlah Denyut Jantung
|
Suhu Tubuh
|
Jumlah Denyut Jantung
|
|
Suhu Ruang
|
30°C
|
-
|
30°C
|
-
|
Suhu 20°C
|
28°C
|
70 kali
|
27°C
|
90 kali
|
Suhu 40°C
|
36,2°C
|
105 kali
|
35°C
|
102 kali
|
Berdasarkan pada percobaan selanjutnya yaitu
mengenai perubahan suhu tubuh terhadap denyut jantung hewan digunakan probandus
yaitu Bufo sp. Berdasarkan pada hasil pengamatan yang terdapat pada
tabel 1.3 diketahui bahwa saat katak berada pada suhu ruang maka katak tersebut
memiliki suhu yang sama. Demikian pula pada saat diberi perlakuan dengan suhu
200C katak mampu mengkondisikan tubuhnya dan begitu pula yang
terjadi pada saat kondisi suhu 400C katak juga mampu mengkondisikan
suhu tubuhnya. Hal ini disebabkan karena katak termasuk ke dalam kelas amphibi. Hewan
amphibi merupakan hewan poikiloterm. Suhu tubuh hewan poikiloterm ditentukan oleh
keseimbangannya dengan kondisi suhu lingkungan, dan berubah-ubah seperti berubah-ubahnya kondisi suhu lingkungan. Hewan ini mampu
mengatur suhu tubuhnya sehingga mendekati suhu lingkungan. Pengaturan untuk
menyesuaiakan terhadap suhu lingkungan dingin dilakukan dengan cara
memanfaatkan input radiasi sumber panas yang ada di sekitarnya sehingga suhu
tubuh di atas suhu lingkungan dan pengaturan untuk menyesuaiakan terhadap suhu lingkungan
panas dengan penguapan air melalui kulit dan organ-organ respiratori menekan suhu
tubuh beberapa derajat di bawah suhu lingkungan.
Oleh karena itu, ketika suhu lingkungan turun, suhu tubuh katak juga ikut turun
menyesuaikan dengan lingkungannya. Hal ini juga dikarenakan karena katak belum
memiliki centrum pengatur suhu sehingga tidak bisa mempertahankan suhu tubuhnya
agar tetap stabil. Demikian halnya pada suhu lingkungan yang panas (Kay, 1998).
Kemudian, pada saat suhu mengalami perubahan maka terjadi pula
jumlah perubahan pada denyut jantung katak. Hal ini disebabkan karena jantung
katak yang memiliki sifat poikilotermik yang dapat menyesuaikan dengan suhu
lingkungan. Saat katak diberi perlakuan pada kondisi suhu 200C,
katak tersebut mampu mengkondisikan sehingga suhu tubuhnya menjadi 270C.
Hal ini disebabkan karena penurunan suhu menyebabkan penurunan permeabilitas
membran sel otot jantung terhadap ion, sehingga diperlukan waktu lama untuk
mencapai nilai ambang. Akibatnya kontraksi otot jantung juga mengalami
penurunan. Adapun saat katak diberikan perlakuan pada kondisi panas yaitu 400C,
katak tersebut mampu mengkondisikan tubuhnya hingga suhunya berada pada 360C.
Kenaikan suhu menyebabkan permeabilitas sel otot terhadap ion meningkat
sehingga ion inflow meningkat, terjadilah depolarisasi. Saat potensial membran
mencapai nilai ambang, maka akan terjadi potensial aksi yang kemudian
dikonduksikan ke AV node, lalu ke bundle of his, kemudian kesaraf
purkinje dan akhirnya ke seluruh otot ventrikel berkontraksi secara cepat.
Akibatnya frekuensi denyut jantung meningkat, tetapi amplitudonya tetap (Chang,
1996).
Berdasarkan pada
suatu proses fisiologi, penambahan suhu tubuh yang terjadi pada suatu
organisme berhubungan dengan proses metabolisme yang merupakan reaksi kimia
yang sangat kompleks di dalam tubuh organisme tersebut. Efek penambahan suhu
tubuh ini dapat dipelajari dengan perhitungan matematika sebagai
Q10. Q10 ini merupakan perbandingan antara 2 reaksi metabolisme
dengan perbedaan temperatur 10 oC, yang dirumuskan :
Q10 = K2/K1 (10/T2-T1)
Q10 merupakan
cara yang paling tepat untuk menunjukkan pengaruh suhu pada laju reaksi atau
metabolisme dalam tubuh, tapi ada cara lain yang lebih baik untuk menjelaskan
mekanisme hubungan kedua variabel tersebut, yaitu dengan Arrhenius plot.
Penambahan suhu juga
akan berpengaruh terhadap meningkatkan nilai dari Q10 nya.
Berdasarkan pada suatu proses fisiologi, penambahan suhu tubuh yang
terjadi pada suatu organisme berhubungan dengan proses metabolisme yang
merupakan reaksi kimia yang sangat kompleks di dalam tubuh organisme tersebut
dan Q10 ini merupakan perbandingan antara 2 reaksi metabolisme
dengan perbedaan temperatur 10 oC (Chang, 1996).
Aktivitas metabolisme
pada tubuh hewan akan mempengarhui suhu internal tubuhnya terutama pada hewan
endoterm dan juga hewan ektoderm, walau hanya sedikit pengaruhnya. Aktivitas
metabolisme tubuh yang tinggi, akan menyebabkan peningkatan suhu pada internal
tubuhnya. Sehingga jika panas tubuh yang terlalu tinggi maka perlu adanya suatu
proses termoregulasi untuk menjaga agar suhu tubuh hewan tersebut tetap stabil.
Begitu pula sebaliknya, apabila aktivitas metabolisme tubuhnya rendah atau
lambat, maka penghasilan panas tubuhnya pun akan terlalu rendah. Akibatnya
panas tubuh internalnya rendah, sehingga apabila hal tersebut terjadi maka akan
diperlukan adanya proses termoregulasi (Kay, 1998).
KESIMPULAN
Thermoregulasi adalah proses pengaturan suhu tubuh. Panas tubuh merupakan hasil akhir dari proses oksidasi di dalam tubuh yang dapat diukur secara akurat
melalui cavitas oris. Terjadinya berbagai keadaan pada lingkungan tidak
mempengaruhi suhu manusia karena sifatnya yang homeoterm, sedangkan pada katak
mampu mengkondisikan suhu tubuhnya sesuai dengan lingkungan karena sifatnya
yang poikiloterm.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell,
dkk. 2004. Biologi jilid 3. Erlangga. Jakarta
Chang, R.
1996. Essential Chemistry.Mc Graw Hill Company, Inc, USA.Fujaya
Kay, Ian.
1998. Introduction To Animal Physiology. Bios Scientifik
Publisher. Manchester
Isnaeni, Wiwi.
2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Soedjono. 1998. Pengantar
Anatomi dan Fisiologi Manusia. LPTK Press. Jakarta
Soewolo,
2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Depdiknas. Jakarta
Syamsiar. 1988.
Pengantar Fisiologi Manusia. Depdikbud. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar