STUDI PERILAKU MAMALIA (Macaca fascicularis) DI KAWASAN
TAMAN WISATA ALAM TELAGA WARNA, DESA TUGU UTARA, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN
BOGOR DENGAN METODE FOCAL ANIMAL SAMPLING
Ratna Lestyana Dewi1), Ria Suci Anisa1), Eko
Jatmiko1), Rizky Hastuti Purwaningsih1), Ferial Hamedan1),
Dara Mutiara Fiesca1), Arman Gaffar1)
1) Program Studi
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstract
Research
on behaviour of long-tailed monkeys (Macaca fascicularis) populations was
conducted in Telaga Warna Nature Recreational Park, Bogor West Java. The
research aim to study animal behaviour of long-tailed monkey population by using
focal animal sampling method. This research was conducted in November 2014.
Observation was done by observing long-tailed monkey population until 120
minutes with 5 minutes intervals. Result of this research showed that daily
activities percentage of longtailed monkeys populations were: moving (35%),
grooming (25%), playing (15%), inactive (10%), eating (6.8%). The frequency of
long-tailed macaques activity was dominated by moving behavior, then followed
by eating, resting, social, and eliminating while behavior that rarely conducted
was mating. Based on gender of adult individuals, resting, eating, moving, and
mating were dominated by the adult males, while embracing, cuddling, and
grooming were dominated by adult females.
Key
word : long-tailed macaques, behaviour, Telaga Warna, focal animal sampling
Monyet ekor
panjang (M. fascicularis) memiliki habitat alami di daerah tropis Asia
Tenggara. Sebaran geografis dari monyet ekor panjang meliputi daerah paling
selatan Bangladesh, Semenanjung Malaka, Filipina, Kalimantan, Sumatra, Jawa,
sampai dengan Timor. Monyet ekor panjang hidup pada daerah dengan ketinggian
yang bervariasi walaupun mereka kebanyakan berada di daerah dataran rendah.
Namun, di beberapa daerah M. fascicularis hidup di dataran tinggi dengan
ketinggian 1200 mdpl di Malaysia, 1800 mdpl di Kalimantan, 2000 mdpl di Sumatra
dan Jawa (Fooden 1995).
Indonesia
adalah salah satu negara yang mempunyai beragam spesies primata, dimana 20%
dari spesies primata di dunia dapat ditemukan di kepulauan Indonesia (Supriatna
dan Wahyono, 2000). Monyet ekor panjang umumnya ditemukan di hutan tropis,
namun spesies ini dapat pula dijumpai di habitat lainnya (Rowe et al., 1996;
Supriatna dkk., 1996). Beberapa habitat yang biasanya dihuni oleh monyet ekor
panjang seperti pengunungan, dataran terbuka dan hutan tropis (Collinge, 1993).
M. fascicularis hidup dalam kelompok sosial yang terdiri atas banyak jantan dan
banyak betina dengan struktur sosial yang berhirarki. Setiap kelompok umumnya
terbagi ke dalam tiga kelompok umur yaitu dewasa, juvenile, dan bayi (infant).
Monyet jantan dewasa memiliki panjang tubuh rata-rata sebesar 465.6 mm dan
betina dewasa memiliki panjang tubuh sekitar 412 mm, sedangkan juvenile
memiliki panjang tubuh sekitar 361.3 mm. Monyet juvenile memiliki ukuran
tubuh yang lebih kecil dari monyet dewasa tetapi memiliki warna rambut yang
hampir sama yaitu coklat keabu-abuan. Bayi memiliki panjang tubuh sekitar 254.8
mm dan memiliki rambut berwarna hitam kecuali pada bagian muka yang berwarna
kemerahan (Fooden 1995).
M. fascicularis dikenal sebagai hewan opportunistic
omnivore, yaitu hewan yang memakan segala jenis makanan, misalnya (buah-buahan,
daun, daging, serangga dan lain sebagainya). Sebagai hewan diurnal, M.
fascicularis hewan yang aktif mencari makan pada pagi hari hingga menjelang
siang hari. Diantara bagian tumbuhan yang paling disukai adalah bagian buah
(Kemp dan Burnett, 2003). Jenis ini juga diketahui memakan umbi, bunga dan biji
tumbuhan (Hasanbahri, et al., 1996).
Telaga Warna merupakan kawasan Cagar Alam dengan luas
368.25 Ha dengan sebagian kawasan seluas 5 Ha berubah fungsinya menjadi Taman
Wisata Alam. Telaga Warna memiliki ketinggian kurang dari 1400 m dpl dengan
curah hujan rata-rata 3380 mm/tahun (Dishutjabar 2007). Taman Wisata yang
berada kawasan Cagar Alam yang dikelola oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA). Populasi satwa liar berupa monyet ekor panjang (M. Fascicularis)
memiliki perilaku yang sudah tidak alamiah. Kondisi alam yang telah banyak
dikunjungi oleh manusia tercipta interaksi diantara keduanya, sehingga perilaku
yang ditunjukkan merupakan perubahan perilaku terhadap lingkungannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan dapat mempraktikan metode
sampling perilaku hewan, serta mengamati perilaku hewan secara langsung di
lapangan.
METODOLOGI
Pengamatan
dilakukan pada hari Jum’at tanggal 20 November 2015 selama 120 menit dengan
interval waktu pengamatan 5 menit, di Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna,
Bogor Jawa Barat (Gambar 1).
Gambar
1. Peta kawasan Telaga Warna, Bogor, Jawa Barat tampak dari atas. Lingkaran
kuning menunjukkan titik lokasi pengamatan
Alat yang
digunakan pada penelitian ini antara lain kamera, arloji, dan alat tulis.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah populasi Macaca fascicularis yang ada
dan diamati di TWA Telaga Warna.
Data perilaku
kera ekor panjang (M. fascicularis) diambil dengan metode Focal
Animal Sampling yaitu dengan cara mengamati satu individu sebagai objek pengamatan
(individu focal) dan prilakunya dicatat setiap interval waktu (Peterson, 2001).
Metode Focal Animal Sampling dilakukan dengan memilih satu individu
sebagai fokus utama pengamatan, dicatat semua perilaku dari individu tersebut
selama periode waktu tertentu. Dicatat juga durasi pengamatan jumlah waktu yang
dihabiskan oleh satu individu untuk melakukan suatu perilaku. Metode ini
memberikan data yang spesifik mengenai perilaku individu dan data yang
dihasilkan lebih representatif dan informatif dibandingkan metode Ad Libitum
(Altmann, 1973). Ditentukan objek M. fascicularis yang menjadi fokus
pengamatan, lalu keseluruhan perilaku yang dilakukan oleh objek dicatat selama
120 menit dalam interval waktu 5 menit. Analisis data dilakukan dengan cara
deskriptif baik kuantitatif maupun kualitatif. Data hasil pencatatan perilaku monyet
ekor panjang kemudian dianalisis dengan metode persentase. Kemudian persentase
tersebut dideskripsikan sesuai dengan tujuan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Data Persentase Total Perilaku Macaca fascicularis
di Taman Wisata Alam Telaga Warna
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan terdapat beberapa macam
aktifitas yang teramati dari populasi monyet ekor panjang menggunakan metode focal
animal sampling yaitu Moving, feeding, resting,
social, eliminating, and nesting. Hasil pengamatan aktifitas Macaca
fascicularis yang teramati pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase Total Aktifitas Macaca fascicularis
Objek
|
Moving
|
Feeding
|
Resting
|
Social
|
Eliminating
|
Nesting
|
Jantan
dewasa
|
30%
|
23%
|
27%
|
18%
|
1%
|
1%
|
Betina
dewasa
|
30%
|
20%
|
24%
|
24%
|
1%
|
1%
|
Betina
dewasa dan anak
|
25%
|
13%
|
23%
|
36%
|
2%
|
2%
|
Juvenil
|
41%
|
30%
|
13%
|
14%
|
1%
|
2%
|
Gambar 2. Grafik total persentase aktifitas Macaca fascicularis
Hasil
pengamatan perilaku populasi monyet ekor panjang di TWA Telaga Warna dengan
metode focal animal sampling pada Tabel 1 dan grafik diatas menunjukkan
bahwa kecenderungan aktifitas tertinggi yang teramati pada populasi monyet ekor
panjang adalah mooving (41%) pada juvenile, dan Social
(41%) pada betina dewasa dan anak. Bergerak menurut Lee (2012), merupakan
kegiatan berjalan, memanjat, melompat, dan berpindah tempat. Jika dilihat dari
cara bergerak maka monyet ekor panjang merupakan salah satu satwa primata yang
menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk berjalan dan
berlari (quandrapedalisme).
Berdasarkan
hasil observasi langsung di TWA Telaga Warna, monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) memiliki kebiasaan untuk melakukan aktivitas makan di
daratan. Monyet ekor panjang lebih sering membawa makanannya berupa buah atau
dedaunan dan memakannya di darat. Monyet ekor panjang juga tidak merasa
canggung ketika meminta makanan kepada para pengunjung di TWA Telaga Warna.
Pengunjung biasanya memberikan makanan berupa kacang rebus, jagung, buah-buahan
dan makanan ringan. Monyet ekor panjang akan menghabiskan makanannya di daratan
bersama kelompoknya sebelum akhirnya kembali ke atas pepohonan. Penelitian dari
Djuwantoko dkk (2008) menunjukkan, bahwa monyet ekor panjang jantan dewasa
menunjukkan perilaku agresif yang paling intensif dibanding kelompok jenis kelamin
dan kelompok umur yang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa monyet ekor panjang
memiliki perilaku agresif terhadap pengunjung wisatawan terutama ketika ingin
memperoleh makanan. Namun karena interaksi dengan manusia inilah yang membuat
monyet ekor panjang tidak lagi memiliki sifat alamiah sesuai di habitat hutan
aslinya. Perilaku yang ditunjukkan oleh objek terlihat adanya keagresifan
kepada pengunjung TWA Telaga Warna. Hal ini membuktikan tidak adanya rasa takut
monyet ekor panjang terhadap manusia, yang pada dasarnya monyet ekor panjang
memiliki sifat alamiah takut terhadap ancaman manusia. Perilaku monyet ekor
panjang secara alami menurut Djuwantoko, dkk. (2008) tidak meresahkan
masyarakat, jika populasi monyet ekor panjang hidup pada habitat aslinya dan
relatif tidak berdampingan dengan kehidupan masyarakat. Perilaku monyet ekor
panjang mungkin mengalami perubahan ketika kehidupan monyet ekor panjang pindah
pada kawasan lain atau berdampingan dengan kehidupan masyarakat, termasuk pada
kawasan Hutan Wisata Alam. Monyet ekor panjang termasuk jenis primata sosial
yang dalam kehidupannya tidak pernah terlepas dari interaksi sosial atau hidup
bersama dengan yang lain (Suwarno, 2014). Interaksi sosial yang dilakukan oleh
monyet ekor panjang menimbulkan munculnya berbagai aktifitas yang berbeda antar
individu dalam populasi.
Aktifitas makan
merupakan aktifitas rutinitas harian yang dilakukan oleh monyet ekor panjang.
Aktifitas makan terdiri dari aktifitas mengambil makanan, memasukkan makanan ke
dalam mulut, menyimpan dalam kantung pipi, dan mengunyah serta menelan makanan
(Lee, 2012; Melfi & Feiltner, 2002). Feeding tertinggi berada pada
tingkat juvenile, dimana dalam pada tingkat ini monyet ekor panjang
berada pada fase pertumbuhan. Faktor ini yang membuat perilaku juvenile
lebih aktif dari tingkat yang lainnya, dari mulai bergerak dari satu pohon ke
pohon lainnya untuk mendapatkan makanannya. Kera ekor panjang merupakan salah
satu jenis satwa pemakan buah (frugivorous). Penggolongan ini didasarkan pada
banyaknya bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang tersebut. Namun
demikian hasil penelitian Sugiharto dalam Misbah (2010) menunjukkan, bahwa
komposisi bagian vegetasi yang dimakan oleh kera ekor panjang terdiri atas :
bagian daun sebanyak 49,93 %, buah 38,54%, bunga 6,60% dan lain-lain sebanyak
5,94%. Monyet ekor panjang mempunyai kebiasaan makan yang sangat selektif.
Mereka memakan buah dan daun-daun muda dari jenis Ficus, Dillenia Diospyros,
Koordersio dendron, Draconto melon, Bambusa sp. dan beranekaragam jenis lainnya
(Kurland dalam Misbah, 2010). Berdasarkan data vegetasi tumbuhan yang telah
didapat pada penelitian Analisis Vegetasi di TWA Telaga Warna, nilai INP tertinggi
terdapat pada tumbuhan Altingia excelsa (193,91%), Ficus ribes (102,19%),
Cartanopsis argentea (116,51%) dan Schima wallichii (106,64%),
sehingga merupakan pohon yang memiliki peranan penting dalam komunitas. Hal ini
menjadi faktor pakan yang sangat mendukung bagi M. fascicularis, dimana
pada saat pengamatan terlihat kelompok-kelompok monyet ekor panjang menyukai
buah dari tanaman saninten (Cartanopsis argentea). Pengamatan difokuskan
pada cara objek memakan buah-buahan, cara makan yang ditunjukkan diawali dengan
memegang makanan dengan kedua tangannya selayaknya mengambil dan membuka kulit
pada buah, mencium, menggigit sebagian daging buah, mengunyah dan menelannya.
Perilaku ini umum dilakukan oleh objek, namun akan terjadi perebutan makanan
ketika ada objek lain yang mendekati. Perilaku agresif disini kebanyakan
dilakukan oleh individu jantan dewasa terhadap individu monyet ekor panjang
yang lebih lemah pada saat pembagian jatah makan. Individu jantan dewasa terlihat
ingin menguasai makanan terlebih dahulu. Perilaku agresif akan muncul bila ada monyet
lain yang ingin mengambil makanan pada saat individu monyet jantan sedang
makan. Pernyataan ini sesuai dengan Watiniasih (2002) dan Tarigan (2009), yang
menyatakan bahwa perilaku agresif banyak dilakukan oleh kera jantan dewasa.
Menurut Wahyuni
(2014), biasanya individu dalam kelompok akan menyebar dalam kelompok-kelompok
kecil di kawasan wisata alam dan memposisikan diri dekat dengan pengunjung
untuk menunggu diberi makanan. Selain itu kegiatan istirahat memiliki proporsi
tinggi akibat dari tingginya aktivitas lokomosi sehingga kelompok membutuhkan
lebih banyak waktu untuk istirahat. Cuaca buruk seperti hujan deras dan kabut
yang sering terjadi di kawasan Telaga Warna juga membuat kelompok lebih sering
beristirahat.
Kondisi habitat
berpengaruh terhadap kerapatan populasi monyet. Kepadatan populasi
hutan sekunder umumnya lebih tinggi daripada hutan primer. monyet
ekor panjang jarang sekali berpindah tempat. M.fascicularis akan
berpindah ketika sumber pangan yang ada di dekatnya akan habis. Monyet adalah
satwa terrestrial dan analisis rata-rata posisi ketinggian aktivita menunjukkan
bahwa monyet cenderung menempati strata tajuk pohon yang lebih rendah daripada populasi
primata lainnya. Habitat monyet ekor panjang pada umumnya tersebar mulai dari hutan
hujan tropika, hutan musim, hutan rawa mangrove. monyet banyak dijumpai di
habitat habitat yang terganggu, khususnya daerah riparian (tepi sungai, tepi
danau, atau sepanjang pantai) dan hutan sekunder dekat dengan areal
perladangan. Selain itu juga terdapat di rawa mangrove yang kadang kadang monyet
hanya satu-satunya spesies dari anggota primata yang menempati daerah tersebut.
Di daerah pantai kadang-kadang monyet terdapat secara bersamaan dengan spesies
lain seperti lutung (Presbytis cristata) (Nugroho, 2015).
Analisis Data Persentase Total Perilaku dalam Tingkatan Hirarki Macaca
fascicularis
Gambar 2.
Persentase total aktifitas jantan dewasa
Berdasarkan
data pada kedua diagram diatas menunjukkan aktifitas tertinggi pada jantan
dewasa berupa mooving, feeding
dan resting. Jantan dewasa lebih sering menghabiskan waktunya untuk
beristirahat, namun aktifitas ini akan dilakukannya setelah aktif untuk
bergerak mencari makan dari satu pohon ke pohon lainnya. Perilaku jantan dewasa
lebih agresif dibandingkan dengan tingkat yang lainnya pada saat perebutan
makanan. Terlihat ketika pengunjung memberikan makanan untuk monyet ekor
panjang yang lainnya, jantan dewasa langsung mendekati dan bersikap agresif
untuk merebut makanan tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan Watiniasih (2002)
dan Tarigan (2009), yang menyatakan bahwa perilaku agresif banyak dilakukan
oleh kera jantan dewasa.
Ada hal lain
yang dilakukan oleh jantan dewasa yang terus aktif bergerak selain untuk
mencari pakan, yaitu untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Jantan dewasa
banyak terlihat aktif untuk melakukan pendekatan (courtship) dan kawin (mating).
Hillyar (2001); Grassi (2002); dan Andrews (2003) menyatakan bahwa inisiasi
untuk aktivitas kawin banyak dilakukan oleh jantan dewasa. Pada musim kawin
pejantan kawin dengan beberapa betina, begitu pula sebaliknya yang betina kawin
dengan beberapa pejantan. Kehidupan poligami dan poliandri berlaku di kelompok
mereka dan dalam satu kelompok ada satu pejantan yang dominan (Nugroho, 2015). Jantan
dewasa lebih banyak beristirahat setelah pergerakan mencari makan dan kebutuhan
makannya terpenuhi. Objek manipulasi dengan menggunakan batu atau ranting yang
berada didekatnya terlihat banyak dilakukan oleh monyet ekor panjang.
Gambar 3.
Persentase total aktifitas betina dewasa
Diagram diatas
menunjukkan persentase aktifitas betina dewasa, aktifitas tertinggi terdapat
pada mooving, feeding. Namun pada setiap aktifitas cenderung
seimbang dengan angka persentase yang tidak terpaut jauh. Betina dewasa dalam
setiap aktifitas sering untuk mencari makan, hal ini dilakukan untuk membantu
tingkat kesuksesan reproduksinya. Karena untuk membantu proses reproduksi,
nutrisi yang dibutuhkan harus terpenuhi. Aktifitas yang dilakukan betina dewasa
pada saat musim kawin tiba lebih sering beristirahat untuk menunggu lawan jenisnya,
dan perilaku grooming dilakukan erat kaitannya untuk menciptakan hubungan yang
harmonis dengan lawan jenisnya. Terlihat pada beberapa objek saat pengamatan,
betina dewasa selalu berjalan beriringan dengan pejantan dewasa dan diikuti
dengan aktifitas grooming. Grooming merupakan kegiatan social affiliation
yang dilakukan oleh individu dalam populasi monyet. Grooming dilakukan
dengan mengambil, membelai, dan menjilati bulu pasangan (Lee, 2012). Menurut
Kamilah dkk (2013), grooming merupakan perilaku sosial dalam bentuk
sentuhan yang umum dilakukan dalam populasi primata. Perilaku ini dilakukan
dengan tujuan untuk merawat dan mencari kutu di semua rambutnya. Ada dua macam
cara grooming yaitu allogrooming (grooming yang dilakukan secara
berpasangan atau dilakukan dengan individu lain), dan autogrooming (grooming
yang dilakukan sendiri atau tidak berpasangan). Allogrooming yang dilakukan secara
berpasangan diasumsikan sebagai perilaku kooperatif bergabung yang akan menghasilkan
keuntungan bagi kedua pihak. Allogrooming juga merupakan satu cara untuk
mempererat hubungan antar individu.
Perilaku
grooming paling sedikit dilakukan di kelompok depan dibandingkan kelompok
tengah dan belakang. Perilaku ini merupakan perilaku sosial yang dapat dilakukan
oleh kera baik antar usia dan antar jenis kelamin (Chalmers, 1979), oleh karena
itu perilaku ini akan dipengaruhi oleh besarnya jumlah anggota kelompok.
Semakin besar jumlah anggota kelompok maka perilaku grooming akan semakin
jarang dilakukan dan sebaliknya jika jumlah anggota kelompok sedikit (Kusumo,
2007).
Gambar 4.
Persentase total aktifitas betina dewasa dan anak
Perilaku sosial
paling banyak dilakukan pada betina dewasa dan anak yaitu perilaku feeding
dan social. Betina induk yang mendekap anaknya di dada, dilakukan
sebagai bentuk perlindungan betina induk terhadap anak-anaknya yang masih
dibawah umur (infant). Intensitas perilaku sosial paling banyak
dilakukan pada saat anak berusia lebih tua, karena sudah cenderung berani untuk
melakukan sosial dengan teman seumurannya atau melakukan grooming dengan betina
dewasa lain selain induknya. Ketika betina induk berjalan lalu mendekati
makanan, anak yang dibawanya berusaha sendiri untuk mencoba mencari makanannya
sendiri yang berada di sekitar betina induk makan. Namun terkadang, karena
keterbatasan makanan betina induk memberikan makanannya kepada sang anak yang
terlebih dahulu telah dirasakan oleh betina induk. Anak monyet lebih banyak
melakukan aktivitas mendapatkan makan dari pemberian induknya. Anak monyet merupakan
monyet yang lebih lemah dari monyet dewasa atau remaja, sehingga anak monyet
lebih memilih untuk mendapatkan makan dari alam atau diberi monyet lainnya
(Tarigan, 2009).
Gambar 5.
Persentase total aktifitas Juvenile
Pada masa juvenile
persentase untuk bersosialisasi sangat kecil, hal ini karena pada saat masa
juvenil merasa bahwa individu lain merupakan pesaing. Maka dari itu mereka
lebih sering hidup dengan cara individual, sehingga pada masa juvenile
ini sangat sering melakukan moving hal ini sekaligus dalam rangka mencari
makanan. Aktifitas makan merupakan aktifitas rutinitas harian yang dilakukan
oleh monyet ekor panjang. Pada pengamatan juvenile aktifitas makan
teramati sebanyak (24%) dan (36%), dari total keseluruhan aktifitas yang
teramati. Aktifitas makan ini menurut Widarteti dkk. (2009) berpengaruh
langsung terhadap kelangsungan hidup individu monyet ekor panjang. Ada beberapa
cara monyet ekor panjang dalam aktivitas makan. Hal itu tergantung dari lokasi
makan, jika mereka makan di atas pohon akan meraih dan memetik kemudian
memasukkan makan tersebut. Apabila aktivitas makan dilakukan di atas tanah maka
mereka akan mengambil dan mengendus-endus terlebih dahulu kemudian memasukkan
makanan tersebut ke dalam mulut ( Pombo 2004 ).
Keaktifan
monyet ekor panjang pada masa juvenile merupakan yang paling tinggi. Hal ini
ditunjukkan pada saat pengamatan sangat sulit dapat terus diamati karena
pergerakannya yang lincah. Mooving dari satu pohon ke pohon lainnya
dengan banyak cara yang dilakukan yaitu bergelantungan pada akar-akar gantung
pohon dengan kedua tangannya, berjalan dengan empat kaki (quandrapedalisme)
yang dilakukan diatas tanah maupun pada dahan-dahan pohon, dan memanjat batang
pohon. Perilaku sosial pada juvenil
biasanya dilakukan dengan betina dewasa yaitu grooming (allogrooming)
ataupun yang dilakukan sendiri (autogrooming).
Gambar 6.
Persentase total aktifitas Jantan alpha
Persentase
total aktifitas yang dilakukan oleh pejantan alpha tertinggi pada mooving
dan resting. Hal dilihat dari seringnya pejantan alpha untuk
melakukan mooving, lalu berdiam diri pada suatu tempat. Aktifitas inaktif
atau resting merupakan aktifitas monyet ekor panjang ketika istirahat.
Sinaga (2010), menyatakan bahwa aktifitas ini sering dilakukan di tajuk-tajuk pohon
karena tajuk pohon yang rindang merupakan tempat yang disukai monyet ekor
panjang. Aktifitas inaktif menurut Lee (2012) merupakan aktifitas
nonsosial yang terjadi dalam suatu populasi berupa aktifitas duduk, berdiri,
berbaring, dan menatap sekeliling. Widarteti, dkk (2009) menyatakan bahwa
aktifitas istirahat merupakan aktifitas yang penting dilakukan oleh individu
setelah melakukan aktifitas makan. Kurangnya perilaku social yang
dilakukan oleh pejantan alpha terlihat dengan seringnya untuk menyendiri
dan menjauh dari monyet ekor panjang lainnya. Namun ketika mulai aktif untuk
mencari makan maka pejantan alpha akan bertindak lebih agresif terhadap monyet
ekor panjang yang sedang melakukan aktifitas yang sama.
Monyet ekor
panjang hidup dalam suatu kawanan, bersosialisasi satu dengan yang lainnya. Satu
kera jantan dewasa merupakan monyet terkuat yang disebut dengan individu Alpha,
memimpin suatu kelompok dan mendominasi anggota lainnya (Engelhardt et al., 2004).
Dengan demikian individu ini terlihat sangat banyak melakukan pergerakan dan
biasanya lebih banyak melakukan perilaku agresif (Watiniasih, 2002) untuk melindungi
kelompoknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar